Ia termasuk sahabat Rasulullah yang hijrah ke Abessinia. Ia rela menerima siksaan kaum Quraisy demi membela agama Allah
Ketegaran Utsman bin Mazh’un tercatat dalam perjalanan sejarah perkembangan Islam. Ia tercatat sebagai orang yang berani melawan penderitaan dengan tetap mempertahankan imannya.
Ustman bin Mazh’un adalah seorang sahabat Rasulullah yang hijrah ke Abessinia atau Habasyah yang kini dikenal dengan sebutan Ethiopia. Ia bersama 80 sahabat Rasulullah hijrah ke negara yang memeluk agama Kristen ini atas perintah Rasulullah. “Tempat itu diperintah oleh seorang raja dan tak ada orang yang dianiaya di situ. Itu bumi jujur sampai nanti Allah membukakan jalan buat kita semua, “sabda Rasulullah. Raja Negus, penguasa Abessinia kala itu, menerima dengan baik kedatangan kaum muslimin. Bahkan dua utusan kaum Quraisy yang datang membujuk Raja Negus, Amr ibnul ‘Ash dan Abdullah ibnu Abdi Rabi’ah, gagal total meminta mereka kembali ke Mekah. Ja’far bin Abi Thalib berhasil menjelaskan dan meyakinkan Raja Negus tentang agama Islam dan sikapnya terhadap penganut Kristen dan Isa Almasih.
Namun, setelah beberapa saat tinggal di Abessinia, mereka lantas mendengar kabar gembira dengan masuknya sebagian pemimpin kaum Quraisy Mekah ke dalam agama Islam.
Kaum muslimin yang telah hijrah pada tahun kelima masa kenabian itu (sekitar tahun 615 Masehi) mulai tertarik untuk kembali ke Mekah. Mereka telah merindukan tanah kelahiran mereka yang telah lama mereka tinggalkan. Setelah mendapat izin Raja Negus mereka kembali ke Mekah melalui lautan.
Tapi belum lagi memasuki kota Mekah, mereka akhirnya tersadar bahwa mereka telah tertipu informasi kaum Quraisy yang menyesatkan. Berita itu sengaja diembuskan kaum Quraisy agar kaum muslimin mau kembali ke Mekah. Mereka takut kedudukan kaum muslimin semakin kuat dengan menjalin hubungan dengan Raja Negus.
Kaum Quraisy menyambut kaum muslimin yang tengah dimabuk rindu ke Tanah Suci Mekah itu bukan dengan sambutan hangat, tapi dengan senjata. Kaum muslimin benar-benar terjebak dan tak bisa berbuat apa-apa, karena posisi mereka yang sangat lemah. Mereka lantas menyerang kaum muslimin yang tak siap itu. Berbagai siksaan lantas diterima kaum muslim.
Tapi, nasib buruk itu ternyata justru tak menimpa Utsman bin Mazh’un. Sebab, pamannya, Walid bin Mughirah, tanpa sepengetahuan Utsman, telah memberikan jaminan keamanan. Karena itu tak satu pun orang Quraisy yang berani mengganggunya, hingga ia masuk kota Mekah. Perlindungan waktu itu merupakan tradisi masyarakat Arab. Siapa pun dan seberapa rendah kelas seseorang, jika masuk dalam perlindungan tokoh waktu itu, mereka akan aman. Tidak boleh mendapat gangguan sekecil apa pun.
Namun, saat itu ia tak bisa menyaksikan penderitaan dan penyiksaan yang diterima saudara-saudara sesama muslim yang berangkat bersamanya ke Abessinia. Melihat kejadian itu hatinya berontak. Ia tidak bisa merasakan ketenangan dengan mendapatkan keistimewaan sendiri. Ia lantas menghadap Walid bin Mughirah.
“Wahai Abu Abdi Syam (sebutan penghormatan bagi Walid bin Mughirah), sejak saat ini aku melepaskan perlindungan yang telah engkau berikan padaku. Karena aku tidak ingin mendapatkan perlindungan selain dari-Nya. Umumkanlah hal ini, seperti waktu engkau umumkan perlindungan atasku sebelumnya,” kata Utsman dengan suara lantang. Walid tak menyangka kemenakannya akan mengatakan itu.
Walid lantas melepas perlindungannya itu dan segera mengumumkan kepada warga Mekah. Kaum Quraisy lantas berdatangan ke arahnya dan mulai menyiksanya. Utsman menerimanya dengan lapang dada. Ia bangga karena ia kini menerima nasib sama dengan saudara-saudara seimannya. Ia nikmati siksaan demi siksaan itu bagaikan belaian.
Siksaan demi siksaan diterimanya persis di depan sang paman. “Ayolah, Utsman, kalau kamu menghendaki keselamatan, masuklah ke dalam perlindunganku kembali.”
Tapi, Utsman menolak tawaran itu. Dengan tenang ia berkata, “Mataku yang sehat ini memerlukan pukulan seperti yang telah dirasakan saudara-saudaraku seiman. Sebenarnya aku berada dalam perlindungan Allah, yang lebih kuat dari perlindungan yang bisa engkau berikan untukku.”
Setelah berbagai siksaan dan pukulan dia terima dengan tabah, ia mengikuti perintah Rasulullah untuk berangkat hijrah ke Medinah, bersama beberapa sahabat lainnya. Ia berangkat mendahului Rasulullah yang berhijrah bersama Abu Bakar.
Bersamaan dengan kemajuan Islam di kota ini, Utsman juga tercatat sebagai sahabat yang cukup menonjol. Ia laksana batu mulia yang tak bernilai harganya. Utsman adalah orang yang ahli ibadah dan seorang zahid, waktunya habis untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sepanjang siang dan malam ia habiskan waktu untuk shalat, membaca Al-Quran, dan puasa.
Pada suatu hari ia masuk ke dalam masjid dengan pakaian yang compang-camping, robek dan penuh dengan tambahan kulit unta. Peristiwa itu terjadi tepat di hadapan Rasulullah. Hati Rasulullah pilu tersayat menyaksikan hal itu.
Rasulullah lantas bersabda kepada para sahabatnya, “Apa pendapat kalian bila memiliki satu pasang pakaian untuk pagi dan sore diganti dengan pasang pakaian lainnya. Kemudian disiapkan di depan kalian seperangkat wadah makanan sebagai ganti perangkat lainnya.”
Maka seorang sahabat menjawabnya dengan senang hati. “Kami ingin hal itu terjadi hingga kita dapat hidup makmur dan bahagia.”
Rasulullah pun kembali bersabda, “Sebenarnyalah itu telah terjadi. Keadaan kalian saat ini, sudah lebih baik dari keadaan kalian sebelumnya.
Sabda Rasul itu juga didengar Utsman, dan semakin membuatnya tekun menjalani hidup bersahaja dan menghindari kesenangan hidup duniawi. Bahkan, ia juga hendak menghindari menggauli istrinya. Tapi, Rasulullah mendengarnya, dan bersabda, “Inna liahlika ‘alayka khaqqan.” (Sesungguhnya keluargamu itu memiliki hak atas dirimu).
Ketika ia hampir menemui ajalnya, kecintaan dan rasa sayang Rasulullah terlihat jelas kepadanya. Rasulullah membungkuk mencium keningnya. Air mata Rasulullah runtuh dan membasahi kedua pipi Utsman. Utsman wafat dengan tenang dan tercatat sebagai orang Muhajirin pertama yang meninggal di Medinah.
Bahkan, saat putri Rasulullah, Ruqayyah, yang juga istri Utsman bin Affan, menjelang wafat, Rasulullah bersabda, “Pergilah, dan susullah pendahulu pilihan kita, Utsman bin Mazh’un.”